BAB I
Pendahuluan
Kata ijma' sudah tidak asing lagi di telinga kita, sudah banyak kita temukan dalam kitab-kitab fiqih khususnya, tentang penggunaan kata ijma'. Sebagaimana di ungkapkan oleh ustadz Abu Ishaq “kita ini mengetahui bahwa ijma' itu lebih dari 20 ribu masalah”, namun apakah pernyataan tersebut bisa di benarkan? Apakah yang di maksud ijma' oleh beliau adalah benar-benar ijma' yang merupakan alat ketiga untuk mencetuskan hukum syara'? padahal dalam kajian ilmu ushul fiqh kita ketahui bahwa ijma' merupakan suatu dalil yang qath'i yang terjaga dari kesalahan. Oleh karena itu, fenomena di atas sangat membutuhkan pembahasan tentang ijma', supaya tidak terjadi salah faham tentang ijma' yang di maksud oleh para ulama ushul fiqh. Karena terkadang yang di maksud ijma' dalam kitab fiqh itu berbeda-beda, ada yang bermaksud kesepakatan sebagian besar ulama, adapula kesepakatan imam yang empat dan adapula kesepakatan ulama dalam suatu madzhab.
Dalam makalah yang sangat sederhana ini, penulis ingin menjelaskan beberapa poin yang tentunya berkaitan dengan ijma', yaitu:
• pengertian ijma'
• syarat-syarat ijma'
• macam-macam ijma'
• kehujjahan ijma'
semoga apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi teman-teman, atau bagi siapa saja yang kebetulan membaca tulisan dalam makalah ini, penulis hanyalah manusia yang lemah yang sangat jauh dari kesempurnaan, karena itu penulis sangat berterima kasih apabila ada kritik, saran, atau apa saja yang berkaitan dengan makalah ini lebih-lebih kami mohon bimbingan dari dosen pembimbing mata kuliah ini, yaitu beliau Prof. Dr. Kasuwi Saiban M.Ag.
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Ijma’
Lafal Ijma’ di musytaq dari lafal أجمع يجمع إجماعا dimana secara bahasa, lafal Ijma’ ini mempunyai dua arti yaitu mufakat dan berniat . Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa pengertian diantanya pendapat imam Ghazali:
اتفاق أمة محمد صلى الله عليه وسلم خاصة على أمر من الأمور الدينية
Sedangkan menurut Jumhur Ulama :
اتفاق المجتهدين من أمة محمد صلعم بعد وفاته فى عصر من العصور على حكم شرعي
Kalau di perhatikan dari definisi di atas terdapat perbedaan yang cukup signifikan, yaitu Imam Ghozali tidak menggunakan kata mujtahid, ini berarti, menurut beliau orang awam juga bisa melakukan ijtihad, perbedaan yang kedua adalah Imam Ghozali tidak mensyaratkan ijma’ harus dilakukan sesudah nabi wafat sedangkan jumhur ulama mensyaratkan keduanya.
Untuk menanggapi hal tersebut Syaikh Wahbah Az-Zuhaili berpendapat bahwa pendapat jumhurul ulama lebih kuat karena orang awam bukanlah orang yang ahli dalam mencari kebenaran untuk menentukan hukum suatu masalah dan juga karena beliau tidak pernah melihat adanya ijma’ pada masa Nabi masih hidup karena Nabi lah yang yang mengeluarkan syari’at itu sendiri pada masa itu .
B. Syarat-Syarat Ijma’
Dari definisi ijma' yang di kemukakan oleh jumhur ulama, dapat di ketahui bahwa Syarat-Syarat ijma’ ada lima , yaitu:
1. Yang bersepakat adalah para mujtahid.
2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.
3. Para mujtahid harus umat Muhammad SAW.
4. Di lakukah setelah wafatnya Nabi.
5. kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari'at.
Di samping syarat-syarat di atas, adapula syarat lain yang tidak di sepakati oleh para ulama ushul, yaitu:
1. Mujtahid tersebut harus dari kalangan shahabat, syarat ini di kemukakan oleh Imam al Dzahiri, Ibnu hazm, Ibn Hibban, dan Imam Hambali.
2. Mujtahid tersebut harus dari kerabat Nabi, syarat ini di kemukakan oleh golongan syi’ah zaidiyah dan imamiyah
3. Orang yang melakukan ijma’ harus orang madinah, syarat ini di kemukakan oleh imam Malik
4. Meninggalnya semua orang yang melakukan ijma’ sesudah mereka mufakat atas suatu hukum, syarat ini di kemukakan oleh imam Ahmad, Abu al Hasan al Asy’ari, Abu Bakr ibn Faurak.
5. Boleh melakukan ijma’ terhadap salah satu dari dua pendapat apabila ulama berbeda pendapat dalam suatu masalah dengan mengeluarkan dua pendapat, ini dikemukakan oleh sebagian syafi’iyah dan ahli hadits.
C. Macam-Macam Ijma’
Ijma’ bila di tinjau dari segi pembuatannya terbagi menjadi dua yaitu :
1. Ijma’ Shorih atau Nuthqi
Ijma’ shorih adalah kesepakatan pendapat para mujtahid dalam hukum suatu masalah yang tertentu dengan ucapan atau perbuatan mereka seperti berkumpulnya para ulama dalam suatu majlis kemudian salah seorang dari mereka mengemukakan pendapatnya yang kemudian disetujui oleh yang lain.
2. Ijma’ Sukuti
Ijma’ sukuti adalah perkataan sebagian mujtahid dalam suatu masalah sedangkan mujtahid yang lain diam dan tidak mengingkarinya. Dimana dalam ijma’ sukuti terdapat beberapa pendapat:
1) Pendapat Imam Syafi’i, Isa bin Aban, Al Baqilani, dan Malikiyah, ijma’ sukuti ini bukan ijma’ dan bukan pula hujjah.
2) Pendapat mayoritas Hanafiyah dan imam Ahmad, ijma’ sukuti ini merupakan ijma’ dan hujjah yang qath’i
3) Pendapat Abu Ali Al Juba’I, ijma’ sukuti ini merupakan ijma’ sesudah habisnya masa para mujtahidnya.
4) Pendapat Abu Hasyim bin Abu Ali, ijma’ sukuti ini bukan ijma’ namun suatu hujjah.
5) Pendapat Ibnu Abi hurairah, di tafsil, jikalau yang berkata itu seorang hakim maka bukan ijma’ dan hujjah, namun jika bukan hakim, maka ijma’ sukuti ini merupakan ijma’ dan hujjah.
D. Kehujjahan Ijma’
Para ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan ijma' ini, ada yang mengatakan bahwa ijma' adalah hujjah yang qath'i yang wajib di amalkan, ini merupkan pendapat jumhur ulama namun ada pula yang mengatakan bahwa ijma' bukanlah hujjah, pendapat ini di kemukakan oleh imam Nidham. Syi'ah berpendapat bahwa ijma' adalah hujjah namun bukan karna ijma'nya tapi karena ijma' itu mencakup terhadap ucapan imam yang ma'sum. Sedangkan Khawarij berpendapat ijma' shahabat merupakan ijma' sebelum adanya firqah-firqah sedangkan sesudah adanya firqah maka yang menjadi hujjah adalah ijma' suatu firqah itu sendiri.
Jumhur ulama mempunyai beberapa dalil yang di ambil dari al Qur’an dan Hadist atas kehujjahan ijma’. Adapun dalam al Qur’an terdapat lima dalil yaitu:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ) البقرة :143)
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ ) آل عمران110 )
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ) آل عمران: 103)
وَمِمَّنْ خَلَقْنَا أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ ) الأعراف: 181)
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ) الشورى: 10)
Kata wasathan dalam ayat tersebut berarti baik, jadi Allah memberitakan tentang kebaikan umat ini, oleh karena itu menurut jumhur ulama, jika umat ini baik maka perkataan mereka menjadi hujjah dengan sendirinya, jadi indikasinya, jika mereka menyepakati sesuatu, maka hal itu menjadi benar. Namun pada ayat-ayat tersebut masih terdapat keraguan untuk di jadikan dalil atas kehujjahan ijma’ .
Menurut pendapat Imam Ghozali, dalil yang paling kuat yang di ambil dari al Qur’an adalah firman Allah surat an Nisa’ ayat 115 sebagaimana dalil yang di jadikan pijakan oleh Imam Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam kitab al Risalahnya, yaitu:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا) النساء:115)
Menurut beliau dalam ayat tersebut Allah mengemukakan bahwa mengikuti jalan selain jalan orang yang beriman maka sama halnya dengan menyakiti Allah dan Rosulnya karena orang yang menyakiti Allah dan Rosul atau mengikuti jalan selain jalan orang mukmin maka orang itu akan masuk ke neraka .
Sedangkan dalil yang diambil dari Hadits dimana dalil ini adalah dalil yang paling kuat sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ghozali adalah beberapa hadits Rosul yang masyhur di kalangan para shahabat, sehingga banyaknya redaksi yang berbeda yang menunjukkan atas terjaganya umat ini dari kesalahan, walaupun haditsnya belum sampai pada tingkatan mutawatir, namun pemahaman tentang terjaganya umat ini dari kesalahan itu mutawatir karena pemahaman tersebut terdapat dalam hadits yang banyak, dan inilah yang di sebut mutawatir ma’nawi. Adapun haditsnya adalah:
(لا تجتمع أمتي على ضلالة (رواه الترمذى
وعن أبي بصرة صاحب رسول الله صلى الله عليه وسلم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال
"سألت ربي عز وجل أربعاً فأعطاني ثلاثاً ومنعني واحدة،سالت الله عز وجل أن لا يجمع أمتي على ضلالة أعطانيها"
(ومن فارق الجماعة مات ميتة جاهلية (رواه البخارى
Di samping hadist di atas masih banyak lagi hadist yang sudah jelas di kalangan shahabat dan tabi’in sampai pada zaman sekarang dan tidak ada seorangpun yang menolak hadist-hadist di atas baik salafiyyah maupun kholafiyah, Oleh karena itu hadist-hadits tersebut bisa diterima keabsahannya.
Adapun dalil-dalil yang di lontarkan oleh golongan yang tidak menyetujui adanya ijma' sebagai hujjah adalah:
1. al Qur'an surat al Nisa' ayat 59
karena dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk mengembalikan perkara yang di pertentangkan kepada Allah dan Rosul-Nya dan Allah tidak memerintahkan untuk mengembalikannya kepada umat.
2. Hadist Mu'adz bin Jabal di mana dalam hadist tersebut tidak menyebutkan tentang ijma'
BAB III
Simpulan
Dari penjelasan di atas dapat di simpulkan, bahwa ijma' adalah kesepakatan semua mujtahid dari umat Muhammad SAW. Dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara'.
Sedangkan macam-macamnya ada dua, yaitu:
1. Ijma' Shorih
2. Ijma' Sukuti
Tentang masalah kehujjahan ijma' ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan merupakan hujjah dan adapula yang tidak.
Daftar Pustaka
al-Hasan, Abi, al Iqna’ fi Masaili al Ijma’, (al-Qahirah:al-Faruq al-Khoditsiyah. 2004).
al-Ghozali, Muhammad, al Mustashfa min Ilmi al Ushul, (Beirut:Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi. 1997).
Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al Fiqh al Islami,(Damaskus:Dar al-Fikr, 2007)
Rachmat, Syafe'i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung:CV Pustaka Setia, 1999).